kazee
Blog
Kepemimpinan Dedi Mulyadi, Diplomatis atau Problematis?

Kepemimpinan Dedi Mulyadi, Diplomatis atau Problematis?

Fajar

24 June 2025 11:35

Image

Sejak resmi menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat pada awal 2025, Kang Dedi Mulyadi atau kerap disapa KDM membawa warna tersendiri dalam kepemimpinan provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia. Dikenal dengan gaya komunikasinya yang khas, blak-blakan namun tetap membumi, serta kegemarannya mengangkat nilai-nilai budaya Sunda, KDM memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Namun, di balik segala gebrakan dan popularitasnya, muncul pertanyaan penting: apakah kepemimpinan Dedi Mulyadi bersifat diplomatis atau justru problematis?

 

1. “Nganjang ka Warga” dan Pembongkaran Bantaran Kali: Dekat tapi Tegas

Program “Nganjang ka Warga” menjadi ikon pendekatan personal KDM. Setiap pekan, ia turun langsung ke kampung-kampung, masuk ke rumah-rumah warga tanpa protokoler, mendengarkan langsung keluhan, bahkan sering kali memberikan solusi di tempat—dari membayarkan biaya sekolah, membantu perbaikan rumah, hingga menyelesaikan konflik keluarga. Dalam konteks ini, Dedi Mulyadi menunjukkan sisi diplomatis: membangun kepercayaan publik lewat sentuhan personal, serta meruntuhkan tembok birokrasi antara pemerintah dan rakyat.

Namun, sisi problematis muncul saat pendekatan personal ini dijadikan fondasi utama dalam penanganan masalah struktural. Salah satu contohnya adalah dalam pembongkaran rumah-rumah liar di bantaran sungai. Meski dilakukan atas nama penataan ruang dan mitigasi banjir, langkah ini menuai pro dan kontra. Banyak warga mengaku tidak mendapatkan relokasi layak, dan penggusuran terjadi hanya beberapa hari setelah kunjungan “Nganjang” dilakukan.

KDM dianggap terlalu cepat bertindak tanpa merancang solusi jangka panjang yang berbasis musyawarah menyeluruh. Dalam kasus ini, pendekatan langsung yang awalnya diplomatis justru berubah menjadi problematis ketika tidak dibarengi sistem penanganan sosial yang memadai.

 

2. “Siswa Masuk Barak” dan “Orangtua Asuh”: Disiplin atau Represif?

Dalam sektor pendidikan, Dedi Mulyadi membuat gebrakan besar melalui program “Siswa Masuk Barak”. Program ini mewajibkan siswa tingkat SMA/SMK tertentu untuk mengikuti pendidikan semi-militer di barak pendidikan selama beberapa bulan, dengan tujuan membentuk kedisiplinan, kemandirian, dan tanggung jawab sosial. Kebijakan ini disambut baik oleh sebagian orangtua yang melihat dampak positif terhadap mental dan etika anak.

Namun, banyak kelompok pemerhati pendidikan menilai pendekatan ini terlalu keras dan tidak sesuai dengan prinsip pedagogis yang humanis. Metode pelatihan ala militer dinilai bisa menekan kreativitas dan menimbulkan tekanan psikologis pada remaja. Kritik utama terhadap Dedi adalah kecenderungannya menyelesaikan masalah karakter anak muda dengan pendekatan “penertiban”, bukan pembinaan holistik.

Demikian pula program “Orangtua Asuh”, yakni skema gotong royong sosial di mana ASN, tokoh masyarakat, hingga pengusaha di Jawa Barat “mengadopsi” siswa kurang mampu untuk diberi biaya pendidikan. Ide ini secara prinsip sangat diplomatis, karena mendorong solidaritas sosial dan meminimalkan beban APBD.

Pro Kontra Siswa Masuk Barak

Namun kembali, pelaksanaannya dinilai tidak terstruktur dan bergantung pada partisipasi individu. Kurangnya sistem kontrol dan evaluasi membuat distribusi bantuan tidak selalu tepat sasaran. Kebijakan ini memperlihatkan ketulusan niat, tetapi implementasi yang minim teknokrasi menimbulkan kesan problematis, juga terdapat sorotan dari KPAI. Meski beberapa di antaranya setuju.

 

“Kami sudah menyampaikan hasil pengawasan kemarin kepada pemerintah daerah. Dan hasil pengawasan kita itu pertama agar program (siswa masuk barak) ini untuk sementara dihentikan, sampai dilakukan evaluasi terutama terkait regulasi,” ujar Waketu KPAI, Jasra Putra.

 

3. Ekonomi Kerakyatan dan Penolakan Proyek Elit: Berpihak tapi Sulit Berkelanjutan

Dedi Mulyadi juga mendorong penguatan ekonomi desa dan UMKM dengan menolak proyek-proyek skala besar yang dianggap tidak pro-rakyat, seperti pembangunan mal baru atau proyek tambang di kawasan produktif. Ia lebih memilih mendorong koperasi petani, pasar tradisional, serta pelatihan wirausaha lokal.

Gaya ini tentu menunjukkan keberpihakan yang diplomatis terhadap rakyat kecil dan lingkungan. Namun, pendekatan ini juga menimbulkan hambatan dalam mendatangkan investasi, karena regulasi provinsi dinilai tidak ramah terhadap sektor swasta. Beberapa proyek nasional yang dicanangkan pemerintah pusat terhambat karena penolakan dari Gubernur.

 

4. Komunikasi Populis: Merakyat tapi Tidak Sistemik

Salah satu ciri khas Dedi Mulyadi adalah gaya komunikasinya yang langsung dan tidak formal. Ia kerap membuat video di media sosial saat berinteraksi dengan warga, menegur pejabat, bahkan mengambil keputusan langsung di depan kamera. Gaya ini membangun citra pemimpin yang merakyat, anti-elit, dan responsif.

Namun, gaya komunikasi ini juga kerap dianggap terlalu populis dan bersifat pencitraan. Kebijakan publik seharusnya berbasis data, perencanaan, dan sistem, bukan hanya interaksi spontan. Banyak kalangan birokrasi mengeluh karena perintah berubah-ubah tergantung dari hasil kunjungan lapangan sang gubernur, tanpa SOP yang jelas.

 

5. Kebijakan Lain Mendapat Dominasi Preseden Sentimen Positif

Keseluruhan kebijakan KDM yang mana baru menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, terlihat dominasinya mengarah ke positif. Adapun wacana kebijakan KB Pria untuk masyarakat yang ingin mendapatkan bantuan sosial, mendapat sentimen negatif yang paling tinggi, hingga mencapai 70 persen. Namun, hal tersebut hingga saat ini belum diterapkan atau bahkan tidak akan diaplikasikan KDM.

 

Konklusi:

Kepemimpinan Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat adalah pemimpin yang berani hadir langsung di tengah rakyat, cepat tanggap, dan visioner dalam memulihkan nilai lokal. Namun, pendekatannya yang sangat personal, minim struktur, dan kadang terlalu reaktif menimbulkan tantangan dalam keberlanjutan kebijakan publik.

Meski demikian, Survei Indikator Politik Indonesia menyatakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi alias KDM menjadi pemimpin dengan tingkat kepuasan masyarakat dalam periode 100 hari kepemimpinan paling tinggi di antara gubernur lainnya di Pulau Jawa.

Peneliti utama Indikator Burhanuddin Muhtadi mengatakan sebanyak 94,7 persen responden puas terhadap Dedi Mulyadi. Dari angka itu, 41 persen di antaranya menyatakan sangat puas, sementara sisanya menyatakan cukup puas

Apakah ia diplomatis atau problematis? Jawabannya: keduanya. Kekuatan dan kelemahan Dedi Mulyadi berasal dari akar yang sama—gaya kepemimpinan yang otentik, namun belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem pemerintahan yang kompleks. Waktu akan membuktikan apakah gaya ini membawa transformasi atau justru menciptakan stagnasi dalam jangka panjang.

**Disclaimer: Hasil dari analisa big data media monitoring

Share :

Related Articles