Menilik Normalisasi Fenomena Hustle Culture di Indonesia

Bayu Septian

27 July 2022 04:56

fenomena-hustle-culture
Picture created by wayhomestudio - www.freepik.com

Apa Itu Sebenarnya Hustle Culture?

Hustle Culture adalah sebuah gaya hidup yang mendorong seseorang untuk bekerja terlalu keras, kapanpun dan dimanapun.

Singkatnya, hustle culture biasa disebut dengan gila kerja.

Alih-alih dirugikan karena nggak ada imbalan, fenomena ini justru jadi tren bagi para workaholic di kalangan anak muda. Padahal, bekerja dengan jam kerja yang panjang belum tentu bikin pekerja jadi produktif, kan?

Lalu sebenernya nih ya, kapan sih fenomena ‘gila kerja’ ini mulai terjadi? Dan kenapa budaya ini lantas dinormalisasi di dunia kerja? Simak penjelasannya yuk guys!

Mulanya Fenomena Hustle Culture Terjadi...

Awalnya fenomena hustle culture (workaholism) ini tuh pertama kali dikenalin sama Wayne Oates dalam bukunya yang judulnya ”Confessions of A Workaholic : The Facts About Work Addiction” pada tahun 1971.

Budaya workaholism ini bikin manusia nggak sadar kalo mereka dipaksa buat kerja. Mereka mencurahkan energi dan waktu yang mereka punya buat kerja, kerja dan kerja.

Dari hasil Sensus Penduduk 2020 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, 25,87% dari total populasi merupakan generasi milenial 1981-1996.

Source : databoks.katadata.co.id

Gen Z dan milenial cenderung punya ambisi dan semangat yang tinggi untuk mendapatkan keinginannya, bisa beradaptasi dengan perubahan, dan senang berkomunikasi dengan teknologi.

Sayangnya nih ya, semangat berapi-api yang mereka punya di beberapa kesempatan justru jadi bumerang bagi mereka sendiri. Semangat mereka yang tinggi dalam bekerja, seringkali justru menyebabkan generasi milenial terjebak dalam fenomena hustle culture. Waduh...bahaya nggak tuh?!

Kerja Keras ≠ Sukses

Banyak yang mengira kunci kesuksesan itu datangnya dari kerja keras. Asalkan bekerja keras, maka setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi sukses.

Padahal, di jaman sekarang untuk bisa sukses, kerja keras aja nggak cukup ya guys. Ada faktor-faktor tertentu seperti keberuntungan dan hal lainnya yang bisa mendorong seseorang semakin dekat dengan kesuksesan.

Anggapan semakin bekerja keras semakin sukses inilah yang bikin para pekerja terutama generasi Z dan milenial mulai mengagungkan fenomena ini. Banyak kaum muda yang bangga akan pencapaian dari lamanya waktu mereka bekerja.

Alhasil, kerja lembur bagai kuda hingga larut malam jadi habit yang sering dijumpai penganut hustle culture.

Fenomena ini cukup banyak menjadi perbincangan di berbagai media loh guys! Bahkan... dari pantauan Kazee Media Monitoring dalam satu bulan terakhir, kata “hustle culture” banyak disebut-sebut terutama di media sosial Twitter dan pemberitaan portal media online.

Source : Kazee Media Monitoring

Indonesia Ranking 20 Negara dengan Jam Kerja Terpanjang

Alih-alih jadi tren di kalangan anak muda, budaya hustle culture justru jadi upaya perusahaan untuk mengeksploitasi karyawan demi keuntungan besar.

Dan yang bikin kagetnya lagi... Indonesia menempati ranking 20 negara yang memiliki jam kerja terpanjang.

Padahal, aturan jam kerja bagi pekerja sebenarnya sudah diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam seminggu, maksimal durasi kerja yaitu 40 jam, dapat dibagi 7 jam selama 6 hari atau 8 jam dalam 5 hari.

Berbeda dengan Indonesia, uniknya di beberapa negara luar, sistem jam kerja sangat diperhatikan perusahaan bagi setiap karyawannya. Keren!

Melansir dari World Population Review, Denmark, Norwegia, Jerman menempati negara tiga teratas yang memilki jam kerja terpendek dalam hitungan minggu.

fenomena-hustle-culture
Source : World Population Review

Dan ternyata... jam kerja yang pendek justru membuat pekerjanya jadi lebih produktif lho, guys!

Jadi bisa disimpulin kalau jam kerja yang panjang nggak melulu bikin kita jadi produktif dalam bekerja.

Berimbas Pada Kesehatan Mental Pekerja

Hustle culture ini sekilas tampak seperti gerakan motivasi yang keren meski tanpa imbalan yang diharapkan. Padahal, perlahan-lahan budaya bisa bikin para pekerja jadi terganggunya kesehatan fisik dan mental.

Akibatnya, banyak pekerja terutama generasi Z dan milenial yang mengalami burnout syndrom. Kata WHO, burn-out adalah sindrom yang diakibakan oleh stress kronik di tempat kerja yang tidak terkendali.

https://twitter.com/suhnkiisses_/status/1448868361685725185?t=au6iQPBfAUtNaFyj1puEog&s=09

Kaya yang dirasain sama salah satu warganet ini. Lewat akun Twitternya, ia bilang kalo budaya ini tuh malah berefek ke mental mereka saat mulai menjajaki dunia kerja.

Work pressure dan rasa insecurity yang tinggi pada kehidupan sosial juga bikin mereka mereka tertekan kalau terus-terusan maksain buat ngikutin culture ini.

Kalau diliat dari luar sih, budaya hustle ini punya tujuan baik yaitu buat ningkatin produktivitas pekerja.

Sayang seribu sayang, dugaan ini justrusalah besar. Kenapa?

Karena tingkat stres yang tinggi justru bikin produktivitas seseorang saat bekerja menurun. Beberapa netizen menyebutnya dengan istilah toxic productivity, kaya cuitan Mba @meisje___ di akun Twitternya nih.

https://twitter.com/meisje___/status/1426299713523908609?t=8vngkPL3Hfx15mzszfHBag&s=09

Mayo Clinic juga bilang, kondisi kesehatan seseorang itu sangat berpengaruh terhadap produktivitas. Seseorang yang punya tingkat stres rendah maka produktivitasnya cenderung meningkat. Begitupun sebaliknya.

Dengan kata lain, hustle culture sebenarnya paradoks yang buat kita kerja berlebihan yang berimbas pada tingkat stres yang tinggi dan menurunnya produktivitas.

Jadi intinya, budaya gila kerja ini sebenernya ada plus dan minusnya ya guys. Yang terpenting, kita bisa memaksimalkan waktu seefektif mungkin biar bisa work life balance dan menikmati sisa-sisa waktunya buat nekunin hobi atau bangun bisnis. Lebih seru kan?

Share :

Related Articles